Bagi yang berkiprah di dunia jasa (yang berhubungan dengan desain, tentunya) pastinya sering melakukan presentasi untuk memaparkan ide dan pengembangan pekerjaan (pada umumnya adalah desain) yang dipercayakan kepada kita. Selain keberhasilan dan kesuksesan presentasi (yang tentunya tidak lagi menjadi isu) seringkali pula kita mendengar kegagalan presentasi karena beragam alasan, dari ide yang mungkin kurang kreatif, presenternya yang tidak siap sampai isu kliennya yang old fashioned, konservatif ataupun tidak investment-oriented. Apapun dalihnya, inti permasalahan terletak pada mengapa presentasi yang dimaksud gagal dan bagaimanakah caranya berpresentasi yang baik, efektif, menjual dan meyakinkan?
Penulis punya banyak pengalaman tentang perspektif ini dan dalam tulisan ini penulis ingin memaparkan beberapa pemikiran yang berbeda dalam menyikapi bagaimana caranya mempersiapkan presentasi yang baik dan efektif sehingga tujuan dari presentasi itu sendiri tercapai. Baik bagi mereka yang hanya sekedar menceritakan tentang pemikiran itu sendiri dengan jelas (berbagi pengalaman, misalnya), menjual ide atau konsep baru ataupun mereka yang memang mengandalkan keberhasilan presentasinya demi tujuan yang ingin dicapai (memenangkan tender bisnis, misalnya), esensi dari tulisan ini adalah untuk mengajak pembaca untuk melihat strategi presentasi dengan kacamata dan perspektif yang berbeda.
Walaupun tidak ada rumus maupun teknik presentasi yang “success-guaranteed” ataupun “fool proof”, paparan berikut lebih bersifat sebagai ringkasan “strategi dan teknik presentasi” berdasarkan pengalaman presentasi penulis sesuai dengan beragam profesi (dulunya sebagai desainer grafis dan sekarang sebagai konsultan branding) yang ditekuni penulis. Simaklah uraian berikut, semoga bermanfaat.
Rule 1: Client Is (not) King
Pada dasarnya klien adalah si pemesan jasa dan yang paling berkepentingan untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang dipesannya. Mereka berkenan untuk membeli jasa yang kita tawarkan dan untuk itu pemberi jasa (karena merasa sangat beruntung mendapatkan kepercayaan dari klien) sering menganggap maupun memposisikan mereka sebagai “raja”. Seringkali kita dengar bagaimana si pemberi jasa mencoba dengan berbagai cara untuk “mengambil hati” kliennya dengan melulu “menyenangkan” mereka dengan (praktis) selalu meng”iya”kan apapun yang mereka minta, seakan-akan apapun yang klien inginkan adalah “keharusan”. Belum lagi jika kliennya “tidak berkenan” dengan hasil karya maupun solusi yang diberikan, semakin gigih pula usaha mereka untuk “meyakinkan” kembali kliennya (bisa saja dengan “segala cara”) untuk menerima usulan mereka. Lebih parah lagi jika pemberi jasa akhirnya hanya didikte oleh klien. Sedemikian “raja”nyakah klien? Atau sedemikian “desperate”nyakah si pemberi jasa sampai rela didikte karena selalu menganggap klien adalah “raja”? Bagaimana integritas profesi kita bisa terjaga dengan baik jika kita selalu menganggap klien kita adalah “raja” (dalam konteks yang negatif tentunya)? Bagaimana kita bisa berdiskusi dengan baik dan sehat jika kita memposisikan klien kita di “pedestal” dan “lebih tinggi” dari kita sendiri? Format yang lebih tepat adalah “partnership” (kemitraan) dimana kedua belah pihak “berdiri” sama tinggi dengan kesetaraan dan saling menjunjung tinggi etika profesi dan posisi kedua belah pihak.
Rule 2: Always Speak Your (Client’s) Language
Desainer grafis sangat kaya dengan beragam istilah dan “bahasa” yang hanya mungkin diketahui dan dimengerti oleh mereka yang berprofesi atau berkiprah di dunia bisnis yang sejenis. Melakukan presentasi dan berdiskusi dengan klien dengan menggunakan “bahasa” desainer grafis (saja) praktis adalah “mission impossible”. Tahukah anda latar belakang lawan bicara (klien) anda? Apakah dia adalah seorang sales-oriented brand manager, Information-technology-oriented marketing director ataukah ia seorang fiancial-oriented CEO? Bagaimanakah caranya menyampaikan dan“menjual” ide dan strategi komunikasi visual kepada tipe orang tersebut? “Bahasa” apakah yang paling tepat digunakan untuk membuat mereka mengerti dan yakin akan “akuntabilitas”, “kehebatan” dan “kreatifitas” solusi yang ditawarkan? Pahamilah “bahasa” mereka dan gunakanlah analogi yang paling relevan dengan bidang yang mereka kuasai
Rule 3: Tell Them What They (Don’t) Know
Hampir bisa dipastikan jika klien telah menunjuk anda untuk menjadi mitra usaha yang dipercaya untuk melakukan perkerjaan yang dimaksud tidaklah sulit untuk melihat bahwa anda di asumsikan lebih tahu dan lebih paham (mengenai subyek dan materi yang anda kuasai) dari pada klien anda sendiri. Oleh karenanya jangan pernah ragu untuk menyampaikan segala sesuatu yang tidak diketahui oleh klien anda karena memang tugas andalah untuk “memintarkan” klien anda dengan memberi tahu segala sesuatu yang memang mereka tidak pernah ketahui sebelumnya. Prinsipnya sederhana, kalau mereka lebih tahu (tentang pengetahuan yang seharusnya anda kuasai karena itu adalah bidang pekerjaan anda) anda tidak akan pernah mendapat perkejaan tersebut dari klien anda.
Rule 4: Consumers Are (Not) Always Right
Hampir semua marketer yang penulis kenal dan berinteraksi percaya betul pentingnya peran konsumen dalam penjualan produk dan semua percaya bahwa mendengarkan konsumen merupakan salah satu kunci keberhasilan penjualan. Oleh karenanya marketer tidak pernah segan untuk bertanya kepada konsumen apa yang mereka inginkan dari produk yang ditawarkan. Sebagai alternatif berpikir, apakah kita selalu bisa percaya dengan apa yang dikatakan konsumen? Apakah konsumen sungguh tahu apa yang mereka inginkan? Dapatkah mereka mengartikulasikan keinginan mereka dengan jelas dan tepat? Apakah apa yang mereka ucapkan sama dengan apa yang ada di hati mereka? Apakah yang mereka ucapkan sama dengan apa yang mereka perbuat? Mengerti konsumen harus dilandasi dengan pemahaman “what the consumers think, feel, say and do are four(4) entirely different things”. Apakah yang mereka katakan saat survey masih valid dengan kenyataan di pasar dan kondisi kompetisi pada saat produk yang dimaksud diluncurkan? Gunakanlah cara dan metode yang tepat untuk bisa memahami konsumen dari (ke empat) sudut pandang diatas. Seperti dikatakan oleh Scott Bedbury (marketer dibelakang suksesnya Nike dan Starbucks Coffee): “Great marketers use focus groups as illumination”. Pandailah untuk bisa “memahami” konsumen dengan bisa mengerti (dan membaca) apa yang tersirat (tidak hanya yang tersurat) dan gunakanlah hasil survey sebagai “arah” dan “indikasi” (iluminasi), bukan sebagai fakta. Jika kebanyakan marketer percaya bahwa sukses hanya bisa diraih dengan selalu meng”iya”kan semua yang diinginkan konsumen (consumer driven brand), akanlah menarik jika marketer justru mengambil posisi sebaliknya: “mendikte” konsumen (brand driven consumer). Esensinya bukan mana yang lebih benar tetapi lebih untuk mengerti posisi dan perspektif mana yang diambil oleh klien dalam membangun brandnya. Biasakanlah untuk berusaha membuka perspektif klien anda dengan memperlihatkan dampak baik dan buruknya kedua perspektif tersebut diatas.
Rule 5: (Don’t) Use Your Brain (Use And Rely On Data)
Presentasi yang berhasil harus dimulai dengan mengedepankan data (fakta yang dapat dipertangungjawabkan kebenarannya) yang ditindaklanjuti dengan pemaparan solusi yang kreatif dan berkualitas atas tantangan (yang terkadang amat sangat kompleks) yang dihadapi klien (untuk brand maupun produknya). Kekuatan dan “kehebatan” solusi yang ditawarkan akan menjadi lebih baik lagi jika berlandaskan data yang mendukung dan bertanggung jawab. Presentasi anda akan menjadi lebih berbobot dan berkualitas, dan diskusi (dan interaksi) antara anda dan klien dengan sendirinya akan menjadi lebih baik, kritis dan membangun.
Rule 6: Confuse (Not Convince) Your Client
Tidak semua klien adalah tipe klien yang mudah diyakinkan atas solusi yang kita berikan dan tidak juga semuanya sesulit yang kita bayangkan. Tentunya tantangan akan lebih besar untuk tipe klien yang pertama dan semakin “sulit” kliennya semakin sulit pula untuk kita yakini atas paparan presentasi kita. Untuk tipe yang “sulit” ini cobalah teknik presentasi yang fungsinya adalah justru untuk “membingungkan” klien (pada awalnya) sebelum (akhirnya) “meyakini” mereka. Strategi ini bertujuan untuk “membanjiri dan meletihkan” pikiran klien dengan beragam alternatif solusi kreatif yang (paling tidak) sama derajatnya (atau lebih baik), kekuatannya dan ketepatannya menjawab tantangan yang dihadapi. Kita harus mampu membuat klien kita “lelah” (karena kebanjiran beragam ide yang baik) sehingga mereka (pada akhirnya) akan menyerahkan peran “membuat keputusan yang terbaik” kepada kita. Pada saat inilah kita merubah kembali strategi presentasi dengan kembali mencoba “meyakini” klien dengan memberikan rekomendasi terbaik dari pilihan yang kita berikan. Walapun melaksanakannya lebih sulit dari mengatakannya, (lebih sering dari tidak) strategi ini sangat jitu dan membuat presentasi kita mempunyai probabilitas yang lebih besar untuk mencapai tujuannya.
Rule 7: Engage In Objective-Based Discussions, Avoid Anything Subjective
Kalau kita mengatakan merah adalah warna yang paling kita “suka” untuk sebuah proposal logo dan klien mengatakan mereka paling “suka” warna hijau dan paling “tidak suka” warna merah, siapa yang benar? Bagaimana dengan “paling bagus” (versi kita) dan “paling jelek” (versi klien) atau sebaliknya? Dari kacamata siapa yang “bayar” dan “dibayar” tentunya yang pertama yang benar. Dari kacamata siapa yang lebih ahli soal (misalnya) warna tentunya si desainer yang (mungkin) lebih ahli. Argumen ini tidak ada hentinya karena konteks diskusinya memang sangat subyektif. Jauh lebih baik jika diskusinya berkiblat pada (misalnya) mana yang paling sesuai dan menjawab objektif yang dicanangkan, atau mana yang paling tepat merefleksikan perusahaan yang dimaksud (misalnya warna “merah” lebih tepat untuk menggambarkan jati diri perusahaan yang “berani” mengambil resiko atau warna hijau yang lebih tepat untuk digunakan untuk membangun citra perusahaan yang percaya akan pentingnya melestarikan alam). Pada intinya, jauh lebih baik berdiskusi dengan konteks “appropriateness” (kesesuaian dengan objektif yang diberikan) daripada “likes or dislikes” (subjektifitas).
Penulis yakin tidak ada strategi manapun (diluar yang dipaparkan diatas) yang bisa dianggap terbaik (terjitu) karena dinamika klien, tantangan dan objektif yang selalu berbeda pada setiap pekerjaan yang dipercayakan kepada kita. Intinya bukan hanya pada rules yang dipaparkan diatas tapi lebih pada kapan dan bagaimana mengkapitalisasi efektifitas dari rules tersebut. Keberhasilan seorang presenter dalam berpresentasi pada klien untuk “membeli” ide dan solusi yang ditawarkan juga bergantung pada penguasaan materi, kemampuan untuk “commanding pressence” (keberadaan kepemimpinan yang diakui lawan bicaranya) dan “selling and persuasion” (bisa menjual dan meyakini lawan bicaranya). Seperti layaknya seorang penerbang, menguasai teori dan praktek tentunya penting namun mempunyai jam terbang yang cukup juga mutlak dimiliki oleh seorang penerbang sebelum ia bisa dikategorikan sebagai pilot yang baik dan handal. Penulis akan menutup tulisan ini dengan pesan: “Presentation is not the only thing, Presentation is EVERYTHING”
This article, written by Sakti Makki, MakkiMakki\'s managing director, and was published in Concept Magazine, 7th edition, 2005
0 komentar:
Posting Komentar