Selasa, 04 November 2008

Dalam seminar Entrepreneurship for Graphic Designers di hotel Le Meridien tahun lalu penulis sempat mendengar sebuah pernyataan yang menarik. Salah seorang pesertanya mengatakan bahwa graphic designer tidak ada bedanya dengan seorang pelacur! Seperti layaknya pelacur, dia merasa bahwa apa yang dialaminya tidak ada bedanya dengan bagaimana seorang pelanggan menyikapi seorang pelacur yang rela melakukan apa saja demi uang. Apakah sudah separah itu dunia bisnis desain grafis di Indonesia? Apakah kita memang sudah menjadi seperti pelacur yg rela melakukan apa saja tanpa mengindahkan harga diri kita sendiri? Seringkali kita mendengar betapa seringnya pihak klien praktis memandang hanya dengan sebelah mata tentang bisnis yang kita geluti ini (baik desain grafis, advertising apalagi branding). Seringkali pula kita mendengar begitu seringnya pemberi jasa desain grafis menjadi frustrasi karena ide, idealismenya dan kreatifitasnya “terpaksa” di lacurkan (dikompromikan) karena “keinginan” kliennya yang berbeda atau karena uang. Haruskah ini berlangsung terus?

Menurut penulis pernyataan peserta seminar tersebut diatas penuh dengan makna yang sangat berarti, selain istilah yang digunakan tapi juga dapat dirasakan rasa frustrasi yang mendalam. Yang pasti esensi jati diri peserta tersebut, sebagai manusia dengan profesi yang digelutinya, telah dipertanyakan dan diragukan oleh pihak yang pernah menggunakan jasa profesinya. Tidak heran kalau banyak yang tersentak dengan pernyataan ini walaupun mungkin juga banyak yang setuju atau malah tidak peduli sama sekali. Mari kita lihat masalah ini dari dua sisi, pihak penerima dan pemberi jasa.

Masih begitu banyak penerima jasa (klien) di Indonesia yang pada umumnya belum memahami pentingnya industri jasa ini (advertising, grafis desain dan sejenisnya) walaupun telah eksis cukup lama di Indonesia. Kebanyakan pihak pemberi jasa tidak akan menyangkal kenyataan bahwa sudah terlalu sering keberadaan bisnis ini diremehkan dengan begitu seringnya klien mengajukan tender bisnis yang mulanya diwarnai dengan dalih mencari pemberi jasa yang “terbaik” walaupun akhirnya yang terpilih adalah yang “termurah”. Belum lagi menyimak siapa saja yang diundang dalam bisnis tender tersebut yang seringkali terdiri dari beberapa institusi bisnis yang bergerak dalam industri yang sebenarnya tidak sama (misalnya desain grafis di adu dengan biro periklanan maupun percetakan atau perusahaan separasi warna). Belum lagi menyikapi klien yang menyalahgunakan kesempatan tender untuk melirik ide yang terbaik untuk pada akhirnya tender itu tersebut di batalkan untuk alasan yang tidak masuk akal. Yang paling menyakitkan adalah jika klien menggunakan ide yang dimaksud tanpa pernah meminta ijin ataupun memberi kompensasi atas ide yang dilahirkan si pemberi jasa. Sepertinya ini telah menjadi lumrah dan anehnya si pemberi jasa terkadang juga hanya diam dan gigit jari saja karena idenya telah digunakan tanpa ijin. Mau berapa lama kita diamkan hal seperti ini? Apakah kita tidak tergugah untuk melakukan apapun untuk melindungi bisnis kita sendiri?

Jika kita mau sejenak berkiblat kepada dunia barat, seperti Amerika maupun negara Eropa, sebenarnya sungguh amat banyak yang dapat kita lakukan untuk membuat industri yang kita geluti ini agar menjadi lebih diperhitungkan, terutama di Indonesia. American Institute of Graphics Art (AIGA) dari waktu ke waktu mempublikasikan buku panduan tentang intellectual property rights, standarisasi harga dan pengelompokan serta klasifikasi perusahaan grafis desain, desainer grafis (baik sebagai karyawan penuh maupun paruh waktu) dan segala sesuatu yang berhubungan dengan industri desain grafis. Buku ini begitu besar perannya dalam pembangunan industri desain grafis di Amerika karena tidak hanya di sikapi dengan positif oleh para pelakunya tapi juga usaha keras AIGA sendiri dalam membangun persepsi yang positif atas industri ini. Walaupun pada awalnya banyak kesulitan yang dihadapi tetapi bisa dilihat hasilnya sekarang. Siapapun yang ingin berkiprah di industri ini dapat mempelajari buku ini sehingga dapat memulai bisnis desain grafis dengan awal yang lebih baik. Secara bersamaan, dari waktu ke waktu AIGA juga melakukan aktifitas promosional melalui kompetisi, seminar dan pengarahan kepada banyak perusahaan di berbagai industri dan juga kepada pemerintah Amerika untuk mendapatkan dukungan sehingga dunia industri akhirnya mendapat tempat dan perhatian yang layak dari dunia bisnis lain di Amerika. Menurut penulis, konsep dan fungsi AIGA sendiri sebenarnya sederhana: melindungi dunia industri dan bisnis yang berhubungan dengan “arts for commercial purposes” di Amerika. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia juga punya “AIGA” versi kita sendiri? Tidakkah para pemberi jasa desain grafis di Indonesia pernah punya keinginan untuk melakukan hal yang sama dengan AIGA? Atau mungkinkah dengan adanya AIGA versi Indonesia iklim usaha ini akan menjadi lebih baik dan kompetitif? Punyakah kita asosiasi yang bertujuan untuk melindungi bisnis dan industri ini dalam konteks “commercial arts”?

Penulis meyakini bahwa konsep asosiasi sejenis AIGA bisa berperan untuk memperbaiki iklim bisnis “commercial arts” di Indonesia. Ini memang bukan ide orisinil maupun baru tapi keberadaan AIGA versi Indonesia akan banyak memudahkan pemberi dan penerima jasa dalam melakukan transaksi bisnis dengan lebih sehat. Kedua pihak akan punya peran yang sama pentingnya, khususnya dalam konteks hak dan kewajibannya. Jangan sampai ada lagi bisnis tender yang tidak jelas aturan mainnya maupun perang harga antara pemberi jasa desain grafis pemula dengan yang memang telah eksis karena reputasi, pengalaman dan jam terbang yang tinggi maupun perusahaan pemberi jasa yang tidak sejenis lainnya (misalnya perusahaan percetakan).

Tentunya tidak hanya AIGA Indonesia nantinya yang akan mempunyai peran penting atau sebagai satu-satunya jalan keluar dari permasalahan ini. Masih begitu banyak cara dapat kita lakukan seperti aliansi strategis antara sesama perusahaan desain grafis, seminar dan eksibisi tentang “the commercial arts” dan pentingnya bagi dunia usaha lainnya maupun mulai menyamakan persepsi mengenai pentingnya standarisasi kualitas dan harga jasa desain grafis. Kita sendiri sebagai pebisnis (dengan semua tantangan yang harus dihadapi) juga harus menghargai dan menjunjung tinggi profesi ini dan bersikap profesional dalam menjalaninya. Klien tidak melulu selalu benar dan juga tidak melulu selalu salah. Penulis percaya bahwa keberhasilan membangun iklim industri yang baik dimulai dari para pelakunya sendiri dan yang jelas me”lacurkan” diri demi kepentingan uang hanya akan memperburuk keadaan. Kita semua punya andil dan dapat berkontribusi untuk kebaikan semua pihak yang terkait dengan mem”proteksi” bisnis ini dan industrinya melalui cara dan jalur yang tepat. Kalau kita ingin dihargai orang lain atas profesi ini maka mulailah menghargai profesi kita sendiri dan tidak lagi melacurkan diri dengan mau begitu saja untuk, misalnya, mengikuti bisnis tender yang tidak jelas aturan mainnya maupun rela untuk memberi harga semurah-murahnya demi mendapatkan pekerjaan. Lakukanlah perubahan dan perbaikan atas semua aspek yang berhubungan dengan bisnis ini, sendiri maupun secara kolektif dengan pebisnis yang lain maupun instansi lain yang terkait, dan membangun “pagar-pagar” maupun “rambu-rambu” yang patut kita patuhi demi kepentingan kita sendiri. Mulailah melakukan perubahan dari kita sendiri yang pada akhirnya akan diikuti oleh pihak lain yang berkepentingan dengan bisnis ini. Kalau kita berubah maka penulis yakin sekeliling kita juga akan berubah. Penulis akan menutup tulisan ini dengan mengutip Charles Darwin, “It’s not the strongest of the species that will survive, nor the most intelligent. It is the one most responsive to change”.


This article, written by Sakti Makki, MakkiMakki\'s managing director, and was published in Concept Magazine, 7th edition, 2005

0 komentar:

Posting Komentar